Pendahuluan
Temuan tentang besarnya kasus ‘perselingkuhan’ (extra-pair fertilizatons-EPF) pada burung sangatlah menarik, bukan hanya dari sisi hasil kajian ekologi perilaku burung namun juga dari aspek metodologi. Bagaiamanakah kita bisa memastikan bahwa anak yang diasuh oleh pasangan burung tersebut adalah anak biologis mereka? Pengamatan secara langsung dengan mengikuti setiap perilakunya selama 24 jam sangat sulit untuk dikerjakan. Temuan di atas merupakan hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan molekuler. Hasil pengamatan langsung jangka panjang perilaku Bald Eagle (Haliaeetus leucocephalus) mengindikasikan bahwa burung ini adalah monogami jangka panjang dan setia dengan pasangannya (Jenkins, 1993). Namun analisis molekuler menemukan bahwa pada Bald Eagle juga terjadi EPF.
Penggunaan pendekatan molekuler dalam kajian perilaku kawin burung merupakan salah satu pemanfatan teknik biologi molekuler untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan biologi atau ekologi yang sulit terjawab dengan menggunakan pendekatan yang sudah ada. Pendekatan molekuler juga sudah digunakan untuk manjawab berbagai permasalahan dalam penelitian burung, baik dalam bidang sistematika, evolusi maupun ekologi.
Sejarah perkembangan
Perkembangan teknik biologi molekuler dalam tiga dasawarsa terakhir telah mendorong juga kemunculan sub disiplin baru yang disebut ‘ekologi molekuler’. Secara garis besar ekologi molekuler merupakan palikasi metode genetika molekuler untuk menjawab permasalahan ekologi (Beebe and Rowe, 2004). Istilahnya baru dikenal setelah tahun 90-an, namun jauh sebelumnya beberapa penelitian ekologi telah menggunakan pendekatan molekuler.
Kajian populasi manusia dengan menggunakan kelompok darah (ABO) merupakan kajian awal ekologi molekuler. Perkembagan cepat sub disiplin ini tidak terlepas dari perkembangan teknik biologi molekuler, terutama polymerase chain reaction (PCR), dan tersedianya penanda molekuler atau genetik (molecular/genetic marker). Teknik PCR mengatasi permasalahan sampel, lebih-lebih pada spesies yang jarang dan sulit dijumpai. Dengan teknik ini kajian molekuler bisa dikerjakan dengan sampel yang sangat sedikit dan diperoleh dengan non-invansive sampling. Sampel bisa diperoleh dari rambut, bulu, kotoran, atau jaringan. Specimen museum menjadi salah satu sumber materi DNA, yang tentunya harus diperhatikan prosedur pengambilannya sehingga tidak merusak nilai specimen untuk kepentingan utamanya.
Penanda genetik merupakan merupakan bagian kecil dari genome suatu organisme yang diasumsikan mewakili keseluruhan genome. Marker ini harus memiliki variasi (polimorfis),yang besaranya tergantung pada tujuan kajiannya. Jika kita akan membedakan individu maka diperlukan penanda dengan variasi yang tinggi, sementara analisis genetika populasi memerlukan memerlukan penanda dengan variasi level moderate..
Pada awal perkembangan ekologi mlekuler, variasi protein banyak digunakan. Penanda ini masuh digunakan sampai sekarang, khususnya digunakan untuk membedakan faktor-faktor antar spesies. Ketika enzim restriksi endoneklease ditemukan, kta bisa melakukan memotong genome suatu oganisme menjadi fragmen yang specific pada suatu individu. Penggunaan enzin ini menjadi tren umum dalam kajian ekologimolekuler. Revolusi ekologi molekuler dimulai dengan digunakannnya teknik PCR, dan penanda genetik yang sekarang banyak digunakan adalah mikrosatelit.
Aplikasi pada penelitian burung
Pendekatan molekuler telah digunakan dalam berbagai aspek penelitian burung, seperti dalam sistematika, identifikasi, ekologi perilaku, genetika populasi, genetika konservasi dan filogeografi. Berikut akan dijabarkan beberapa contoh aplikasinya.
- Sistematika
Sistematika molekuler burung diawali oleh Charles G. Sibley pada awal 1960an dengan menggunakan protei darah dan kemudian elektroforesis protein telur putih. Kemudian pada tahun 70-an mulai menggunakan teknik hibridisasdi DNA. Hasil analisisnya telah merivisi filogeni burung dan mempunyai pengaruh yang besar, disamping juga menimbulkan kontroversi. (Sibley and Ahlquist, 1990).
Kajian filogeni burung di Indonesia juga telah menggunakan pendekatan ini, diantaranya pada ayam hutan (Zein and Sri, 2002), beo (Suzanna, 2007).
- Identifikasi
Identifikasi, baik pada level spesies maupun individu, sangat penting bukan hanya untuk kepentingan teoritis tetapi juga untuk aplikasi, misalnya dalam konservasi. Pada level spesies, dewasa ini telah dikembangkan DNA Barcode yaitu penggunaan sekuen DNA pendek untuk mengidentifikasi suatu spesies (Hebert et al., 2004). Penanda genetik yang digunakan adalah cytochrome c oxidase I (COI), DNA mitokondrial. Metode ini juga berpotensi untuk digunakan mengidentifikasi mangsa dari kotoran atau isi perut pemangsanya, serta untuk kepentingan forensik satwa liar.
Analisis parasit atau penyebab penyakit pada burung dipermudah dengan penggunaan pendekatan molekuler. Perkembangan yang pesat dari pendekatan molekuler tidak hanya mempengaruhi hasil penelitian dalam identifikasi parasit malaria burung, tetapi juga dalam kajian evolusi. Berdasarkan metode mikroskospis hanya ditemukan 200, sekarang diduga sekitar sepuluh ribu jenis (Valkiunas et al., 2008). Dengan pendekatan yang sama Yuda (2008a, , 2008b) mengidentifikasi beberapa haplotipe baru parasit malaria (Haemoproteus) yang specifik pada jenis burung Gelatik Jawa dan Bondol. Selain itu analisis sejenis pada 25 spesies di Pantai Trisik hanya ditemukan 7 haplotipe, yang dominan adalah Plasmodium (5), sedangkan Haemoproteus dan Leucocytozoon masing-masing hanya ditemukan satu haplotipe; semuanya . unik pada burung-burung di Pantai Trisik (Yuda and Aida, 2009).
Identifikasi pada level individu lainnya adalah penentuan jenis kelamin, yang realtif sulit pada burung yang sebagian monomorfik dan lebih-lebih pada anaknya. Penentuan jenis kelamin dengan molekuler menggunakan penanda penentu jenis kelamin pada gen CHD1W (chromobox-helicase-DNA-binding gen) yang terletak pada kromosom W (spesifik betina) dan gen CHDZ pada komosom Z (Griffiths et al., 1998). Dengan menggunakan pendekatan ini Seilandari (1999) menentukan jenis kelamin 109 sampel beberapa jenis burung (terutama burung paruh bengkok) di Indonesia. Hasilnya 90 sampel dapat dibedakan jenis kelaminnya., 14 sampel tidak dapat teramplifikasi, dan 5 sampel tidak dapat dibedakan. Metode yang sama digunakan oleh Rahayuningsih (2004) untuk burung kepodang dan Yuda (2008a) melakukan pada gelatik jawa.
.
- Ekologi perilaku
- Genetika populasi dan konservasi
- Filogeografi
Seperti hal pada kajian ekologi molekuler, aplikasi analisis molekuler pada penelitian burung mencakup banyak aspek. Penggunaannya dalam sistematika telah
The entire genome of the domestic fowl Gallus gallus was sequenced in 2004 and was followed in 2008 by the genome of the Zebra Finch (Taeniopygia guttata).[76] Such whole genome sequencing projects allow for studies on evolutionary processes involved in speciation.[77] Associations between the expression of genes and behaviour may be studied using candidate genes. Variations in the exploratory behaviour of Great Tits (Parus major) have been found to be linked with a gene orthologous to the human gene DRD4 (Dopamine receptor D4) which is known to be associated with novelty-seeking behaviour.[78] The role of gene expression in developmental differences and morphological variations have been studied in Darwin’s finches. The difference in the expression of Bmp4 have been shown to be associated with changes in the growth and shape of the beak.[79][80]
Referensi
BEEBE, T. & ROWE, G. (2004) An Introduction to Molecular Ecology, Oxford, Oxford Univestity Press.
GRIFFITHS, R., DOUBLE.M.C, ORR, T. K. & DAWSON, R. J. G. (1998) A DNA test to sex most birds. Canberra, Molecular Laboratory, DEEB.Australian National University.
HEBERT, P. D. N., STOECKLE, M. Y., ZEMLAK, T. S. & FRANCIS, C. M. (2004) Identification of Birds through DNA Barcodes. PLoS Biol 2, e312.
JENKINS, J. M. (1993) Mate and Nest Site Fidelity in Resident Population of Bald Eagles The Condor 95, 1053-1056.
RAHAYUNINGSIH, M. (2004) Penentuan Jenis Kelamin Burung Kpodang (Oriolus chinensis maculatus L.) dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan Primer Sexing Bogor, Institut Pertanian Bogor.
SIBLEY, C. G. & AHLQUIST, J. E. (1990) Phylogeny and classification of birds, New Haven, Conn., Yale University Press, .
SULANDARI, S. (1999) Sexing birds using DNA analysis for ex-situ conservation program. Bogor, PC for Biology.LIPI.
SUZANNA, E. (2007) Analisis Hubungan Kekerabatan Berdasarkan Morfologi, Aktivitas Harian, Gambaran Darah dan Karakter DNA Mitokondrion Beberapa Subspesies Burung Beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758). Sekolah Pasca Sarjana. Bogor, Institut Pertanian Bogor.
VALKIUNAS, G., EZHOVA, T. A. I., KRIZˇANAUSKIENE, A., PALINAUSKAS, V., SEHGAL, R. N. M. & BENSCH, S. (2008) A Comparative Analysis of Microscopy and PCR-Based Detection Methods for Blood Parasites. J. Parasitol., 94, 1395-1401.
YUDA, P. (2008a) Conservation Genetics of the Java sparrow (Padda oryzivora) and An Analysis of Its Viability. Marine and Tropical Biology. .: . Cairns,, James Cook University.
YUDA, P. (2008b) Prevalensi dan Keragaman Jenis Parasit Malaria Burung pada Burung Bondol (Lonchura spp.). Yogyakarta., Fakultas eTeknobiologi, UAJY.
YUDA, P. & AIDA, Y. (2009) Keragaman Jenis, Prealensi dan Hubungan Ecolusi Malaria Burung pada Burung Liar dan Ayam. Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
ZEIN, M. S. A. & SRI, S. (2002) Filogeni molekuler ayam hutan dari hasil sekuen Hypervariable I control region genom DNA mitokondria Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Biologi
Makalah disampaikan dalam Seminar IdOU, Bogor, 4 Desember 2010